Selasa, 25 Oktober 2011

Epistemologi (Ilmu Pengetahuan)

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Epistemologi

Ruang lingkup filsafat ada 3 macam, yaitu: Ontologi atau metafisika yang merupakan filsafat tentang realita, Epistemologi, yaiutu filsafat tentang ilmu pengetahuan, dan Axiologi, yaitu filsafat tentang nilai. Secara luas dapat dikatan bahwa epistimologi adalah bagian filsafat yang membahas masalah-masalah pengetahuan. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme, yang berarti pengetahuan (knowledge) dan logos yang berarti ilmu. Jadi menurut arti katanya, epistemologi ialah ilmu yang membahas masalah-masalah pengetahuan. Di dalam Webster New International Dictionary, epistemologi diberi definisi sebagai berikut: Epistimology is the theory or science the method and grounds of knowledge, especially with reference to its limits and validity, yang artinya Epistemologi adalah teori atau ilmu pengetahuan tentang metode dan dasar-dasar pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan batas-batas pengetahuan dan validitas atau sah berlakunya pengetahuan itu. (Darwis. A. Soelaiman, 2007, hal. 61).

Istilah Epistemologi banyak dipakai di negeri-negeri Anglo Saxon (Amerika) dan jarang dipakai di negeri-negeri continental (Eropa). Ahli-ahli filsafat Jerman menyebutnya Wessenchaftslehre. Sekalipun lingkungan ilmu yang membicarakan masalah-masalah pengetahuan itu meliputi teori pengetahuan, teori kebenaran dan logika, tetapi pada umumnya epistemology itu hanya membicarakan tentang teori pengetahuan dan kebenaran saja.

Epistemologi atau Filsafat pengetahuan merupakan salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan masalah hakikat pengetahuan. Apabila kita berbicara mengenai filsafat pengetahuan, yang dimaksud dalam hal ini adalah ilmun pengetahuan kefilsafatan yang secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang hakikat pengetahuan.

Beberapa pakar lainnya juga mendefinisikan espitemologi, seperti J.A Niels Mulder menuturkan, epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang watak, batas-batas dan berlakunya dari ilmu pengetahuan. Jacques Veuger mengemukakan, epistemology adalah pengetahuan tentang pengetahuan dan pengetahuan yang kita miliki tentang pengetahuan kita sendiri bukannya pengetahuan orang lain tentang pengetahuan kita, atau pengetahuan yang kita miliki tentang pengetahuan orang lain. Pendek kata Epistemologi adalah pengetahuan kita yang mengetahui pengetahuan kita. Abbas Hammami Mintarejo memberikan pendapat bahwa epistemology adalah bagian filsafat atau cabang filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan dan mengadakan penilaian atau pembenaran dari pengetahuan yang telah terjadi itu. (Surajiyo, 2008, hal. 25).

Dari beberapa definisi yang tampak di atas bahwa semuanya hamper memiliki pemahaman yang sama. Epistemologi adalah bagian dari filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode, dan keshahihan pengetahuan. Jadi objek material dari epistemology adalah pengetahuan dan objek formalnya adalah hakikat pengetahuan itu.

2. Arti Pengetahuan

Pengetahuan adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk menuturkan apabila seseorang mengenal tentang sesuatu. Suatu hal yang menjadi pengetahuannya adalah selalu terdiri atas unsur yang mengetahui dan yang diketahuiserta kesadaran mengenai hal yang ingin diketahuinya itu. Oleh karena itu, pengetahuan selalu menuntut adanya subjek yang mempunyai kesadaran untuk mengetahui tentang sesuatu dan objek yang merupakan sesuatu yang dihadapinya sebagai hal ingin diketahuinya. Jadi bisa dikatakan pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu. Pengetahuan diperlukan sebagai dukungan dalam menumbuhkan rasa percaya diri maupun sikap dan perilaku setiap hari, sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan merupakan fakta yang mendukung tindakan seseorang.

Pengetahuan itu hanya dikenal dan ada di dalam pikiran manusia, tanpa pikiran maka pengetahuan tidak akan eksis. Oleh karena itu keterkaitan antara pengetahuan dan pikiran sesuatu yang kodrati. (Surajiyo, 2008, hal. 26).

  1. Terjadinya Pengetahuan

Masalah terjadinya pengetahuan adalah masalah yanag sangat ungen untuk dibahas di dalam Epistemologi, sebab orang akan berbeda pandangan terhadap terjadinya pengetahuan. Sebagai alat untuk mengetahui terjadinya pengetahuan menurut John Hospers dalam bukunya An Introduction to Philosophical Analysis mengemukakan ada enam hal, (Surajiyo. 2008. Hal. 28) diantaranya:

  1. Pengalaman Indera (Sense Experience)

Orang sering merasa penginderaan merupakan alat yang paling vital dalam memperoleh pengetahuan. Pengalaman indera merupakan sumber pengetahuan yang berupa alat-alat untuk menangkap objek dari luar diri manusia melalui kekuatan indera. Kekhilafan akan terjadi apabila ada ketidak normalan antara alat-alat itu. Ibn Sina mengutip ungkapan filosof terkenal Aristoteles menyatakan bahwa barang siapa yang kehilangan indra-indranya maka dia tidak mempunyai makrifat dan pengetahuan. Dengan demikian bahwa indra merupakan sumber dan alat makrifat dan pengetahuan ialah hal yang sama sekali tidak disangsikan. Hal ini bertolak belakang dengan perspektif Plato yang berkeyakinan bahwa sumber pengetahuan hanyalah akal dan rasionalitas, indra-indra lahiriah dan objek-objek fisik sama sekali tidak bernilai dalam konteks pengetahuan. Dia menyatakan bahwa hal-hal fisikal hanya bernuansa lahiriah dan tidak menyentuh hakikat sesuatu. Benda-benda materi adalah realitas-realitas yang pasti sirna, punah, tidak hakiki, dan tidak abadi.

  1. Nalar (Reason)

Nalar adalah salah satu corak berfikir dengan menggabungkan dua pemikiran atau lebih dengan maksud untuk mendapatkan pengetahuan baru. Salah satu tokoh dari paham ini adalah Plato, seorang filosof Yunani yang dilahirkan di Athena. Plato berpendapat bahwa untuk memperoleh pengetahuan itu pada hakikatnya adalah dengan mengingat kembali.

  1. Otoritas (Authority)

Otoritas adalah kekuasaan yang sah yang dimiliki oleh seseorang dan diakui oleh kelompoknya. Otoritas menjadi salah satu sumber pengetahuan, karena kelompoknya memiliki pengetahuan melalui seseorang yang mempunyai kewibawaan dalam pengetahuannya. Pengetahuan yang diperoleh dari otoritas ini biasanya tanpa diuji lagi, karena orang yang telah menyampaikannya mempunyai kewibaan tertentu.

  1. Intuisi (Intuition)

Intuisi adalah kemampuan yang ada pada diri manusia berupa proses kejiwaan tanpa suatu rangsangan atau stimulus mampu untuk membuat pernyataan yang berupa pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi tidak dapat dibuktikan seketika atau melalui kenyataan karena pengetahuan ini muncul tanpa adanya pengetahuan lebih dahulu. Menurut Mohamad Taufiq dalam sebuah tulisannya mengatakan bahwa intuisi adalah daya atau kemampauan untuk mengetahui atau memahami sesuatu tanmpa ada dipelajari terlebih dahulu dan berasal dari hati.

  1. Wahyu (Revelation)

Sebagai manusia yang beragama pasti meyakini bahwa wahyu merupakan sumber ilmu, Karena diyakini bahwa wahyu itu bukanlah buatan manusia tetapi buatan Tuhan Yang Maha Esa. Wahyu adalah berita yang disampaikan oleh Tuhan kepada nabi-Nya untuk kepentingan ummatnya. Kita mempunyai pengetahuan melalui wahyu, karena ada kepercayaan tentang sesuatu yang disampaikan itu. Wahyu dapat dikatakan sebagai salah satu sumber pengetahuan, karena kita mengenal sesuatu melalui kepercayaan kita.

  1. Keyakinan (Faith)

Keyakinan adalah suatu kemampuan yang ada pada diri manusia yang diperoleh melalui kepercayaan. Adapun keyakinan itu sangat statis, kecuali ada bukti-bukti yang akurat dan cocok untuk kepercayaannya.

  1. Jenis-Jenis Pengetahuan

Pengetahuan Menurut Soejono Soemargono dapat dibagi atas Pengetahuan Non-Ilmiah dan Pengetahuan Ilmiah.

Pertama adalah Pengetahuan Non-Ilmiah, yang mana pengetahuan ini adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan cara-cara yang tidak termasuk dalam kategori metode ilmiah. Dalam hal ini termasuk juga pengetahuan yang meskipun dalam babak terakhir direncanakan untuk diolah lebih lanjut menjadi pengetahuan ilmiah, yang biasanya disebut pengetahuan pra-ilmiah. Misalnya, pengetahuan orang tentang manfaat rebusan daun jambu biji untuk mengurangi gejala diare.

Secara umum yang dimaksud dengan pengetahuan non-ilmiah ialah segenap hasil pemahaman manusia mengenai sesuatu objek tertentu yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini yang cocok adalah hasil penglihatan dengan mata, hasil pendengaran telinga, hasil penciuman hidung, hasil pengecapan lidah dan hasil perabaan kulit. Disamping itu, sering kali di dalamnya juga termasuk hasil-hasil pemahaman yang merupakan campuran dari hasil inderawi dengan hasil pemikiran secara akali. Juga pemahaman manusia yang berupa tangkapan-tangkapan terhadap hal-hal yang biasanya disebut ghaib, misalnya pengetahuan orang tertentu tentang jin atau makhluk halus di tempat tertentu, keampuhan pusaka, dan lain-lain.

pengetahuan non-ilmiah mempunyai ciri-ciri penelitian tidak sistematik, data yang dikumpulkan dan cara-cara pengumpulan data bersifat subyektif yang sarat dengan muatan-muatan emosi dan perasaan dari si peneliti. Karena itu pengetahuan non-ilmiah adalah pengetahuan yang coraknya subyektif.

Kedua adalah Pengetahuan ilmiah adalah segenap hasil pemahaman manusia yang diperoleh degan menggunakan metode ilmiah. Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang sudah lebih sempurna karena telah mempunyai dan memenuhi syarat-syarat tertentu dengan cara berfikir yang khas, yaitu Metode ilmiah. Jujun S. Suriasumantri menambahkan bahwa metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapat lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan dapat disebut ilmu tercantum di dalam apa yang dinamakan metode ilmiah. (Jujun S. Surisumantri. 1996. Hal. 119).

Secara etimologi metode berasal dari kata Yunani methodos, sambungan kata depan meta (menuju, melalui, mengikuti, sesudah) dan kata benda hodos (jalan, perjalanan, cara, arah) kata methodos sendiri lalu berarti penelitian, metode ilmiah, hipotesis ilmiah, uraian ilmiah. Metode ialah cara bertindak menurut sistem/ aturan tertentu. (Surajiyo. 2008. Hal. 35). Jadi, Metode ilmiah adalah suatu kerangka landasan bagi terciptanya pengetahuan ilmiah. Dalam sains dilakukan dengan menggunakan metode pengamatan, eksperimen, generalisasi, dan verifikasi. Sedangkan dalam ilmu-ilmu sosial dan budaya, yang terbanyak dilakukan dengan menggunakan metode wawancara dan pengamatan. Pelaksanaan metode ilmiah ini meliputi enam tahap, yaitu:

1. Merumuskan masalah. Masalah adalah sesuatu yang harus diselesaikan.

2. Mengumpulkan keterangan, yaitu segala informasi yang mengarah dan dekat pada pemecahan masalah. Sering disebut juga mengkaji teori atau kajian pustaka.

3. Menyusun hipotesis. Hipotesis merupakan jawaban sementara yang disusun berdasarkan data atau keterangan yang diperoleh selama observasi atau telaah pustaka.

4. Menguji hipotesis dengan melakukan percobaan atau penelitian.

5. Mengolah data (hasil) percobaan dengan menggunakan metode statistik untuk menghasilkan kesimpulan. Hasil penelitian dengan metode ini adalah data yang objektif, tidak dipengaruhi subyektifitas ilmuwan peneliti dan universal (dilakukan dimana saja dan oleh siapa saja akan memberikan hasil yang sama).

6. Menguji kesimpulan. Untuk meyakinkan kebenaran hipotesis melalui hasil percobaan perlu dilakukan uji ulang. Apabila hasil uji senantiasa mendukung hipotesis maka hipotesis itu bisa menjadi kaidah (hukum) dan bahkan menjadi teori.

Metode ilmiah didasari oleh sikap ilmiah. Sikap ilmiah semestinya dimiliki oleh setiap penelitian dan ilmuwan. Adapun sikap ilmiah yang dimaksud adalah :

1. Rasa ingin tahu

2. Jujur (menerima kenyataan hasil penelitian dan tidak mengada-ada)

3. Objektif (sesuai fakta yang ada, dan tidak dipengaruhi oleh perasaan pribadi)

4. Tekun (tidak putus asa)

5. Teliti (tidak ceroboh dan tidak melakukan kesalahan)

6. Terbuka (mau menerima pendapat yang benar dari orang lain)

  1. Asal-Usul Pengetahuan

Asal-usul pengetahuan adalah hal yang harus detahui oleh seseorang. Karena tanpa mengetahui asal-usul pengetahuanm tersebut, maka kita tidak berangkat dari pemahaman awal munculnya pengetahuan. Seorang yang berakal tentu ingin mengetahui tidak hanya apa pengetahuan tetapi juga bagaimana ia muncul. Keinginan ini dimotivasi sebagian oleh asumsi bahwa penyelidikan asal-usul pengetahuan dapat menjelaskannya. Oleh karena itu, penyelidikan semacam itu menjadi salah satu tema utama Epistemologi dari zaman Yunani kuno sampai sekarang. Untuk mendapatkan dari mana pengetahuan itu muncul bisa dilihat dari aliran-aliran dalam pengetahuan.

Aliran-aliran dalam pengetahuan, diantaranya adalah:

a. Rasionalisme

Rasionalisme adalah aliran yang memandang bahwa yang menjadi dasar pengetahuan adalah akal fikiran manusia. (Darwis A. Soelaiman. 2007. Hal 68). Pengalaman hanya dapat dipakai untuk meneguhkan pengetahuan yang didapat oleh akal. Salah satu tokoh aliran aini adalah Rene Descartes. Beliau memebedakan 3 ide yang ada di dalam diri manusia, yaitu: 1. Inneate ideas (bawaan yang dibawa manusia sejak lahir), 2. Adventitious ideas (ide-ide yang berasal dari luar diri manusia), dan 3. Factitious ideas (ide-ide yang dihasilkan oleh fikiran itu sendiri).

b. Empirisme

Empirisme tercipta dalam himpunan sosial pada masyarakat Inggris dan Amerika, sekalipun pandangan ini sebetulnya sudah ada sejak Aristoteles. Pempirisme tertuju kepada keduniawian. (Darwis A. Soelaiman. 2007. Hal. 77). Aliran ini berpendapat bahwa empiris atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan. Akal bukan menjadi sumber pengetahuan, tetapi akal mendapat peran sebagai yang mengolah bahan-bahan yang diperoleh oleh pengalaman.

c. Kritisisme

Aliran yang dikenal dengan kritisisme adalah aliran diintrodusir oleh Iummanuel Kant, seorang filosof Jerman yang dilahirkan di Konigserg, Prusia Timur, Jerman. Aliran ini memulai pelajarannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. (Juhaya S. Praja. 2005. Hal. 114). Pertentangan antara Rasionalisme dan Empirisme hendak diselesaikan oleh Immanuel Kant dengan kritisismenya. Salah satu ciri dari kritisisme adalah menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh atas perpeduan antara peranan unsur Anaximenes priori yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan waktu dan peranan unsur aposteriori yang berasal dari pengalaman.

d. Positivisme

Positivisme berasal dari kata “positif”. Kata positif di sini sama artinya dengan faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivisme, pengetahuan kita pernah boleh melebihi fakta-fakta. Dengan denikian, maka ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh terbaik dalam bidang pengetahuan. Tentu saja, maksud positivisme berkaitan erat dengan apa yang dicita-citakan oleh empirisme. Positivisme pun mengutamakan pengalaman.